Perlakuan Hukum Terhadap Anak Menuju Keadilan yang Restorative
Semakin maraknya kasus anak di Bali beberapa tahun terakhir ini menjadikan kita merasa sangat prihatin. Walaupun perhatian pemerintah telah diwujudkan melalui Undang Undang Perlindungan Anak yaitu UU No. 23 tahun 2002, namun belum mampu menekan kasus yang melibatkan anak, baik sebagai korban maupun pelaku tindak pidana.
Berbagai upaya telah dilakukan pada tingkat pengambil kebijakan setingkat Menteri maupun Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan sebagainya. Salah satu contoh, kesepakatan bersama dalam penangan kasus anak bermasalah hukum (ABH) adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Hukum dan HAM, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Sosial, Jaksa Agung RI, Kepolisian RI, serta Mahkamah Agung tentang Penanganan Anak Bermasalah Hukum.
Tujuan keputusan ini adalah terwujudnya persamaan persepsi dalam penanganan anak bermasalah hukum: (a) Meningkatnya koordinasi dan kerjasama dalam upaya menjamin perlindungan khusus bagi anak bermasalah hukum, (b) Meningkatnya efektifitas penanganan anak yang berhadapan dengan hukum secara sistematis komprehensif, berkesinambungan dan terpadu.
Intisari dari SKB antara lain, bahwa pihak–pihak sebagai berikut : (1) Kepolisian, dalam menangani kasus anak yang berhadapan dengan hukum agar mengedepankan kepentingan terbaik anak, mencari alternatif penyelesaian terbaik bagi kepentingan tumbuh-kembang anak, serta seoptimal mungkin berupaya menjauhkan anak dari proses peradilan formal. (2) Kejaksaan, sebagai tindak lanjut telah dikeluarkannya Surat Edaran JAMPIDUM pada tanggal 28 Pebruari 2010 no. B – 363/E/EJP/02/2010 tentang Petunjuk Teknis Penanganan Anak yang Berhadapan Dengan Hukum. (3) Mahkamah Agung RI, menerbitkan Surat Edaran MA RI no. MA/KUMDIL/31/1/k/2005 tentang Kewajiban setiap PN mengadakan ruang sidang khusus dan ruang tunggu khusus untuk anak yang disidangkan. (4) Kementerian Hukum dan HAM, sebagai implementasi dari Surat Keputusan Bersama telah ditetapkan Kebijakan ABH melalui Inpres No. 3 tahun 2010 dan SOP ABH di Bapas dan Rutan serta LAPAS, serta koordinasi APH di Tingkat Pusat melalui MAHKUMJAPOL. (5) Kementerian Sosial, kepedulian pemerintah terhadap ABH dilakukan melalui berbagai Program Kesejahteraan Sosial Anak melalui penyediaan Panti Sosial dan RPSA serta Pusat Trauma. Bantuan kepada anak korban kekerasan dan penelantaran berupa bantuan pemenuhan kebutuhan dasar bagi anak dalam bentuk Bantuan Tunai Bersyarat, khususnya anak dari keluarga miskin. Disamping itu juga dibentuk kelompok-kelompok kerja perlindungan dan rehabilitasi sosial ABH, dan lain-lain. (6) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan PA, implementasi SKB dilakukan dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Negara PP2PA nomor 15 tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penanganan ABH. Dalam perjalanannya Penanganan Kasus Anak masih tetap harus dikontrol dengan ketat, karena dalam kegiatannya masih sering terjadi pelanggaran atas hak-hak asasi anak yang berhadapan hukum.
Munculnya wacana penerapan Restorative Justice dimana dalam Inpres no. 3/2010 dan Inpres no. 10 tahun 2010 telah tersirat dengan “Justice For All” dan Keadilan Restoratif patutlah menjadi acuan para aparat Penegak Hukum di negeri kita dalam menangani ABH. Definisi Keadilan Restoratif menurut Tony F. Marshall adalah: sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan terlibat dalam suatu pelanggaran tertentu , bertemu untuk menyelesaikan bersama-sama masalah yang timbul dan bagaimana menangani akibat di masa yang mendatang. Karakteristik Restorative Justice adalah membuat pelanggar bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya; memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas dan kuantitasnya disamping mengatasi rasa bersalah secara konstruktif; melibatkan para korban, orang tua, keluarga besar, sekolah dan teman dekatnya; menciptakan forum untuk bekerja sama dalam menyelesaikan masalah tersebut; menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dan reaksi sosial.
Dalam penerapannya tidak semua kasus anak dapat diberlakukan Restorative Justice. Kriterianya sebagai berikut: bukan kasus kenakalan anak yang mengorbankan kepentingan orang banyak dan bukan pelanggaran lalu lintas; kenakalan anak tersebut tidak mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, luka berat atau cacat seumur hidup; kenakalan tersebut bukan merupakan kejahatan terhadap kesusilaan yang serius menyangkut kehormatan.
Dalam pelaksanaan Restorative Justice pihak-pihak yang dilibatkan dalam musyawarah pemulihan penyelesaian kasus antara lain: korban dan keluarga korban karena korban adalah bagian dari konflik, kepentingan korban dalam proses pengambilan keputusan serta konflik merupakan persoalan keluarga; pelaku dan keluarga karena pelaku merupakan pihak yang mutlak dilibatkan dan keluarga pelaku dipandang perlu untuk dilibatkan karena usia pelaku yang belum dewasa; wakil masyarakat guna mewakili kepentingan dari lingkungan dimana peristiwa pidana terjadi dan kepentingan-kepentingan yang bersifat publik
Apabila kita memahani makna Restorative Justice dan konsisten menerapkannya, maka beberapa hal yang dicapai antara lain berkurangnya jumlah penghuni Lapas dan terselamatkannya anak-anak berhadapan hukum demi kepentingan terbaik anak. Berkaitan dengan penanganan ABH, Lembaga Perlindungan Anak ( LPA ) Propinsi Bali sangat berharap adanya komitmen dan pengertian semua pihak terkait sehingga perlindungan hukum juga dapat diperoleh para ABH. Langkah awal dilakukan dengan menyelenggarakan lokakarya antara Aparat Penegak Hukum selanjutnya diharapkan mampu melaksanakan sosialisasi ke masyarakat untuk mencapai persamaan persepsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar